
TOKOBERITA.COM – Pemerintah Kabupaten Deli Serdang kini menghadapi gugatan senilai Rp 2 miliar di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam menyusul operasi penertiban billboard raksasa di kawasan Jalinsum Simpang Abadi, Kecamatan Tanjung Morawa. Kasus ini bermula ketika Pemkab melakukan pembongkaran papan reklame berukuran besar milik PT Star Indonesia pada awal Mei lalu, yang kemudian memicu protes keras dari perusahaan pemilik.
Operasi penertiban yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Deli Serdang tersebut bukan tanpa alasan. Billboard berukuran 7×14 meter itu dinilai melanggar sejumlah peraturan daerah tentang tata ruang dan ketertiban umum. Namun, pihak perusahaan menganggap pembongkaran yang dilakukan merupakan tindakan sepihak dan tidak melalui proses hukum yang semestinya.
Proses pembongkaran billboard raksasa itu ternyata tidak mudah. Dibutuhkan waktu hingga tiga hari berturut-turut untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena ukurannya yang sangat besar dan konstruksinya yang kokoh. Selama proses tersebut, aktivitas lalu lintas di kawasan Jalinsum sempat terganggu dan memerlukan pengaturan khusus dari petugas.
Dalam surat gugatannya, PT Star Indonesia mengklaim mengalami kerugian material dan immaterial yang sangat besar. Perusahaan menyebut nilai investasi untuk pembuatan billboard tersebut mencapai miliaran rupiah, belum termasuk potensi pendapatan yang hilang dari sewa iklan. Mereka juga menuntut ganti rugi atas reputasi perusahaan yang dianggap ternoda oleh tindakan Pemkab.
Sekretaris Daerah Deli Serdang, melalui pernyataan resminya, menegaskan bahwa penertiban dilakukan berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Reklame. “Billboard tersebut tidak memiliki izin yang sah dan berada di lokasi yang dilarang,” ujarnya. Pemkab juga menyatakan telah memberikan peringatan tertulis sebelumnya namun tidak diindahkan oleh perusahaan.
Gugatan ini memunculkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian warga mendukung langkah Pemkab karena billboard raksasa tersebut dianggap mengganggu pemandangan dan berpotensi membahayakan keselamatan lalu lintas. Namun, kalangan pengusaha iklan luar ruang justru mempertanyakan konsistensi penegakan peraturan, mengingat masih banyak billboard serupa yang belum ditertibkan.
Persidangan gugatan ini diprediksi akan berlangsung alot. PT Star Indonesia diduga kuat akan menghadirkan saksi ahli untuk membuktikan bahwa billboard mereka sebenarnya memenuhi standar keamanan. Sementara Pemkab akan mengandalkan bukti dokumen peringatan dan foto-foto kondisi lapangan sebagai alat bukti.
Kasus ini menyoroti pentingnya sinkronisasi antara kepentingan ekonomi dan penataan ruang. Di satu sisi, industri reklame luar ruang memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Namun di sisi lain, pembangunan billboard yang tidak terkendali dapat merusak tata kota dan membahayakan keselamatan publik.
Beberapa pengamat hukum menyoroti kemungkinan adanya celah dalam proses penertiban yang dilakukan Pemkab. “Harus dilihat apakah prosedur pembongkaran sudah memenuhi asas due process of law,” ujar seorang dosen hukum administrasi negara. Jika terbukti ada pelanggaran prosedur, bukan tidak mungkin gugatan Rp 2 miliar tersebut akan dikabulkan sebagian.
Dampak kasus ini telah meluas ke ranah politik lokal. Sejumlah anggota DPRD Deli Serdang mulai mempertanyakan kebijakan penertiban billboard yang dinilai tidak komprehensif. Mereka menyarankan perlu adanya sosialisasi lebih intensif sebelum melakukan tindakan tegas terhadap pelaku usaha.
Industri periklanan luar ruang di Sumatera Utara pun mulai merasakan efek domino dari kasus ini. Beberapa perusahaan mulai melakukan pengecekan ulang terhadap legalitas billboard mereka, khawatir menjadi sasaran operasi berikutnya. Situasi ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi iklim investasi di sektor tersebut.
Pakar tata kota dari Universitas Sumatera Utara menilai kasus ini sebagai pelajaran berharga bagi semua pihak. “Perlu ada dialog intensif antara pemda dan pelaku usaha untuk menciptakan regulasi yang berkeadilan,” sarannya. Ia juga menekankan pentingnya zonasi yang jelas untuk penempatan billboard di wilayah strategis.
Sementara proses hukum masih berjalan, Pemkab Deli Serdang dikabarkan sedang menyusun skema penataan reklame yang lebih komprehensif. Rencananya akan ada revisi perda yang mengatur lebih detail tentang ukuran, lokasi, dan prosedur perizinan billboard untuk menghindari konflik serupa di masa depan.
Kasus ini juga menyadarkan pelaku usaha tentang pentingnya kepatuhan terhadap peraturan tata ruang. Banyak perusahaan yang selama ini menganggap remeh proses perizinan, kini mulai menyadari risiko hukum dan finansial yang mungkin mereka hadapi.
Apa pun hasil akhir persidangan nanti, kasus ini telah menjadi preseden penting dalam penegakan hukum di bidang penataan ruang. Kedua belah pihak diharapkan dapat mengambil hikmah dan bersama-sama mencari solusi yang berkeadilan bagi semua stakeholder.
Masyarakat pun berharap kasus ini tidak hanya berhenti pada persoalan gugatan ganti rugi, tetapi bisa menjadi momentum untuk menata ulang sistem perizinan dan pengawasan reklame di Deli Serdang secara lebih profesional dan transparan.