
TOKOBERITA.COM – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di bawah kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution akan memberlakukan kebijakan SMA/SMK negeri gratis mulai Tahun Ajaran 2025/2026 pada bulan Juli mendatang. Kebijakan progresif ini bertujuan untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah di jenjang menengah atas sekaligus meringankan beban ekonomi masyarakat. Namun, rencana tersebut justru memantik perdebatan di kalangan orang tua dan praktisi pendidikan.
Aminah Nasution, wali murid SMAN 1 Batang Toru di Kabupaten Tapanuli Selatan, menyampaikan sikap ambivalen terhadap program ini. “Secara konsep sangat bagus, tapi saya pesimis implementasinya akan optimal,” ujarnya saat diwawancarai Minggu (15/6/2025). Pernyataan ini merepresentasikan keraguan yang berkembang di masyarakat tentang efektivitas kebijakan pendidikan gratis.
Fenomena yang menarik perhatian adalah pola pungutan di beberapa sekolah negeri selama ini. Aminah mengungkapkan bahwa meskipun tidak ada biaya SPP formal, namun orang tua tetap dibebani berbagai komponen lain. “Uang seragam, buku paket, kegiatan ekstrakurikuler, hingga iuran komite selalu menjadi pengeluaran rutin,” paparnya. Realitas ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang makna ‘gratis’ dalam kebijakan yang dicanangkan.
Analisis kebijakan menunjukkan setidaknya tiga aspek kritis yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek pendanaan yang harus jelas sumber dan mekanisme alokasinya. Kedua, sistem pengawasan untuk mencegah terjadinya pungutan liar. Ketiga, dampak jangka panjang terhadap kualitas pendidikan. Pakar pendidikan dari Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Surya Dharma, M.Pd., mengingatkan, “Gratis tidak boleh berarti mengorbankan mutu.”
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara mengklaim telah menyiapkan anggaran khusus sebesar Rp 350 miliar untuk program ini. Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk mengganti biaya operasional sekolah yang selama ini bersumber dari SPP. Namun, kalangan legislatif meminta transparansi lebih besar dalam pengelolaan dana tersebut. “Kami akan bentuk panitia pengawas khusus,” tegas Ketua Komisi E DPRD Sumut.
Di lapangan, respons sekolah cukup beragam. Beberapa kepala sekolah menyambut positif kebijakan ini sebagai solusi atas keluhan masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Namun, tidak sedikit yang mengkhawatirkan dampaknya terhadap fleksibilitas pengelolaan keuangan sekolah. “Selama ini SPP menjadi sumber dana untuk perawatan sarana dan kegiatan pembelajaran,” ungkap seorang kepala SMK di Medan.
Perspektif orang tua terbelah menjadi dua kubu. Kelompok pertama, terutama dari keluarga kurang mampu, sangat mendukung karena dianggap akan meringankan beban hidup. Kelompok kedua justru meragukan efektivitas program, khawatir akan terjadi penurunan kualitas layanan pendidikan. “Saya lebih memilih membayar asalkan kualitasnya terjamin,” tutur orang tua siswa di Deli Serdang.
Aspek geografis Sumatera Utara yang luas dengan kondisi daerah berbeda-beda juga menjadi tantangan tersendiri. Sekolah di perkotaan dengan akses mudah mungkin bisa mengoptimalkan program ini, namun bagaimana dengan sekolah di daerah terpencil? “Kami khawatir justru akan terjadi kesenjangan baru,” ucap pengawas sekolah dari Kabupaten Nias Selatan.
Kebijakan ini juga berpotensi memengaruhi ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Asosiasi Sekolah Swasta Sumut menyatakan kekhawatirannya akan terjadi migrasi besar-besaran siswa dari sekolah swasta ke negeri. “Ini bisa mematikan sekolah swasta kecil yang selama ini berkontribusi pada pendidikan,” protes ketua asosiasi.
Menyikapi berbagai masukan tersebut, Gubernur Bobby Nasution menegaskan komitmennya untuk menjalankan program dengan baik. “Kami sudah siapkan skenario terbaik termasuk sistem pengaduan online untuk memantau pelaksanaannya,” janjinya dalam rapat koordinasi terakhir. Pemerintah juga berencana melibatkan organisasi masyarakat dalam pengawasan.
Tantangan implementasi yang paling krusial adalah mengubah pola pikir masyarakat tentang makna pendidikan gratis. Selama ini masih ada persepsi bahwa sekolah gratis identik dengan kualitas rendah. “Kami harus buktikan bahwa gratis tidak berarti murahan,” tegas Kepala Dinas Pendidikan Sumut melalui siaran pers resmi.
Pengalaman daerah lain yang menerapkan kebijakan serupa bisa menjadi pelajaran berharga. Kota Surabaya, misalnya, butuh waktu tiga tahun untuk menyempurnakan sistem pendidikan gratisnya. “Yang penting ada komitmen kuat dan evaluasi berkelanjutan,” saran pengamat pendidikan nasional yang pernah meneliti model Surabaya.
Dari sisi regulasi, Peraturan Gubernur yang menjadi payung hukum program ini masih dalam tahap finalisasi. Beberapa pasal tentang sanksi bagi pelanggar dan mekanisme pengaduan sedang diperdebatkan. “Kami ingin memastikan aturannya benar-benar bisa diimplementasikan,” jelas staf ahli gubernur bidang hukum.
Masyarakat Sumatera Utara kini menanti bukti nyata dari janji politik ini. Kesuksesan program tidak hanya diukur dari hilangnya biaya SPP, tetapi juga dari peningkatan kualitas pendidikan dan pemerataan akses. “Kami berharap ini bukan sekadar program pencitraan,” tandas ketua LSM Pendidikan Sumut.
Pada akhirnya, kebijakan SMA/SMK negeri gratis ini akan menjadi ujian nyata bagi kemampuan pemerintah daerah dalam mentransformasi sistem pendidikan. Hasilnya baru akan terlihat beberapa tahun mendatang, apakah benar-benar mampu menjadi solusi berkelanjutan atau justru menciptakan masalah baru dalam dunia pendidikan Sumatera Utara.