
TOKOBERITA.COM — Penonaktifan Lurah Sari Rejo, Edi Gurnawan, oleh Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, kini menjadi pusat sorotan publik. Edi yang dikabarkan dinonaktifkan sejak 4 Juni 2025 akibat dugaan absensi fiktif dan bolos kerja, nyatanya masih terlihat aktif menjalankan tugas hingga Jumat, 18 Juli 2025. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar tentang konsistensi dan transparansi kebijakan pemerintahan di Kota Medan.
Kondisi tersebut menimbulkan gelombang kritik dari masyarakat dan aktivis pemerintahan. Banyak pihak mempertanyakan mengapa seorang pejabat yang secara resmi disebut telah dinonaktifkan masih bisa melaksanakan tugas publik seperti biasa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ada permainan politik atau upaya pencitraan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Fakta baru terungkap ketika media mencoba mengonfirmasi keabsahan keputusan penonaktifan tersebut kepada Plh Camat Polonia, Rangga Karfika Sakti. Dalam keterangannya, Rangga menyebut bahwa dirinya tidak pernah menandatangani surat penonaktifan tersebut. “Saya hanya Plh, nggak bisa teken itu. Harus koordinasi dulu ke Tapem (Tata Pemerintahan),” ujarnya saat dikonfirmasi wartawan.
Pernyataan tersebut memunculkan spekulasi bahwa proses administratif dalam pemerintahan kota tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tanpa penandatanganan resmi dari pejabat yang berwenang, status nonaktif Edi Gurnawan secara hukum dan birokrasi menjadi tidak sah. Hal ini tentu memperlemah legitimasi tindakan Wali Kota yang sebelumnya digembar-gemborkan sebagai langkah tegas terhadap ASN yang tidak disiplin.
Tidak hanya Edi Gurnawan, kasus serupa juga terjadi pada Lurah Tegal Sari Mandala III, Ibnu Ridelsa. Ia sempat diumumkan dinonaktifkan karena masalah disiplin, namun tetap terlihat aktif berkantor dan menjalankan tugas-tugas lurah seperti biasa. Pola yang sama memunculkan dugaan bahwa penonaktifan pejabat hanya menjadi gimmick politik untuk kepentingan pencitraan Wali Kota.
Publik pun mulai mempertanyakan: apakah Wali Kota Rico Waas telah dibohongi oleh bawahannya, atau justru instruksinya memang tidak digubris oleh jajaran di bawah? Situasi ini menimbulkan keraguan terhadap kewibawaan dan efektivitas kepemimpinan di lingkungan Pemerintah Kota Medan. Jika perintah Wali Kota bisa diabaikan begitu saja, bagaimana bisa program-program strategis berjalan lancar?
Ketidaktegasan birokrasi ini juga berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah. Masyarakat yang sebelumnya mengapresiasi langkah tegas Wali Kota kini mulai meragukan ketulusannya. Mereka melihat adanya ketimpangan antara wacana dan tindakan nyata di lapangan.
Beberapa pengamat pemerintahan menilai bahwa kasus ini merupakan refleksi dari lemahnya pengawasan dan koordinasi antarstruktur birokrasi. Plh Camat yang tidak bisa menandatangani keputusan penting karena statusnya hanya pelaksana harian menunjukkan bahwa sistem pemerintahan terlalu bergantung pada pejabat definitif, padahal pelayanan publik tidak boleh terhambat oleh status jabatan.
Sementara itu, DPRD Kota Medan didesak untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja jajaran eksekutif, terutama dalam hal pelaksanaan sanksi terhadap ASN. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam menjalankan roda pemerintahan, agar tidak muncul kesan bahwa penegakan disiplin hanya sebatas formalitas.
Tak hanya soal penonaktifan, publik juga menyoroti mekanisme pengawasan internal di Pemko Medan. Apakah Inspektorat Kota benar-benar melakukan audit terhadap perilaku dan kedisiplinan lurah-lurah yang bermasalah? Jika tidak ada hasil audit yang jelas, maka penonaktifan menjadi tidak berdasar dan berpotensi menjadi pelanggaran administratif.
Kondisi ini juga memberikan tekanan kepada Wali Kota Rico Waas untuk segera memberikan penjelasan terbuka kepada masyarakat. Diamnya kepala daerah dalam isu yang berkembang justru memperkuat kesan bahwa kasus ini dibiarkan berlarut-larut. Ketegasan dan keterbukaan sangat dibutuhkan untuk memulihkan citra kepemimpinan di mata publik.
Sementara itu, komunitas masyarakat sipil dan LSM mulai menyiapkan petisi agar Wali Kota melakukan evaluasi total terhadap pejabat kecamatan dan kelurahan yang terbukti tidak menjalankan perintah dengan benar. Mereka juga mendorong adanya reformasi birokrasi yang lebih berorientasi pada kinerja dan akuntabilitas publik.
Bagi warga Sari Rejo dan sekitarnya, masalah ini bukan hanya soal penonaktifan lurah. Mereka merasa kecewa karena pelayanan publik terganggu akibat ketidakjelasan status pejabat yang semestinya diganti atau diberi sanksi. Ketika disiplin ASN tidak ditegakkan, maka masyarakatlah yang paling terdampak.
Jika dibiarkan, polemik ini berpotensi menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah kota. Wali Kota Medan diharapkan tidak hanya bertindak reaktif, tetapi juga mampu menunjukkan kepemimpinan yang proaktif dan solutif dalam menyelesaikan persoalan internal birokrasi. Ketegasan dan konsistensi akan menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan publik.