
Tokoberita.com – Polemik terkait keaslian dokumen milik Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan setelah seorang kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dian Sandi Utama, mengunggah foto yang diduga sebagai salinan ijazah Presiden di platform media sosial X (dulu Twitter). Aksi ini segera menuai kontroversi dan berujung pada pelaporan ke pihak berwajib oleh seorang dosen Universitas Sumatera Utara (USU).
Dosen yang diketahui berinisial YLH tersebut melaporkan Dian Sandi Utama ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tepatnya Pasal 32 dalam UU Nomor 11 Tahun 2008. Pasal tersebut mengatur tentang larangan menyebarluaskan dokumen elektronik tanpa izin dari pihak yang berwenang atau pemilik data.
Menurut keterangan YLH, tindakan Dian dianggap melanggar privasi dan merupakan bentuk penyebaran dokumen yang tidak sah secara hukum. Ia menilai bahwa unggahan tersebut tidak hanya menyalahi aturan, tetapi juga dapat memicu disinformasi dan kegaduhan publik. Terlebih, dokumen yang diunggah menyangkut lembaga tinggi negara dan kepala pemerintahan.
Unggahan Dian Sandi Utama terjadi pada 1 April 2025 dan langsung menjadi perbincangan hangat di media sosial. Beberapa pihak mendukung langkahnya sebagai bentuk transparansi publik, sementara sebagian besar lainnya menilai tindakan tersebut berlebihan dan melanggar etika serta hukum.
YLH dalam laporannya menekankan bahwa tindakan tersebut harus dipertanggungjawabkan secara hukum agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari. Ia juga menegaskan bahwa sebagai akademisi, ia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas dan mendidik masyarakat tentang pentingnya menghargai privasi serta mematuhi hukum dalam bermedia sosial.
Sementara itu, pihak PSI belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan ini. Namun, sejumlah elite partai menyatakan akan mengkaji kasus tersebut secara internal dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Mereka juga menegaskan bahwa partainya menjunjung tinggi prinsip demokrasi yang sehat dan taat hukum.
Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Arif Suparman, menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi peringatan bagi masyarakat dalam menggunakan media sosial.
“UU ITE mengatur dengan jelas mengenai batasan dalam penyebaran informasi. Tidak semua data atau dokumen dapat disebarluaskan, apalagi jika belum terbukti keabsahannya dan tidak memiliki izin,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa motif di balik penyebaran juga akan menjadi fokus penyidikan. Jika terbukti dilakukan dengan maksud menyesatkan publik atau merusak reputasi pihak lain, maka pelaku dapat dikenakan sanksi pidana yang cukup berat sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam konteks politik, kasus ini juga dinilai sarat akan kepentingan. Mengingat posisi Jokowi sebagai tokoh politik nasional dan mantan presiden, segala bentuk isu yang menyentuh aspek personal seperti ijazah akan sangat sensitif dan dapat memicu berbagai spekulasi, baik dari kalangan masyarakat umum maupun aktor politik.
Kepolisian melalui Bareskrim Polri menyatakan akan menindaklanjuti laporan yang masuk secara objektif dan profesional. “Kami akan memanggil pelapor dan terlapor untuk dimintai keterangan serta mengumpulkan bukti-bukti yang relevan sebelum menentukan langkah hukum selanjutnya,” ujar juru bicara Bareskrim.
Di sisi lain, beberapa organisasi masyarakat sipil mengingatkan agar proses hukum dalam kasus ini tidak dijadikan alat untuk membungkam kritik. Mereka mendesak agar hukum tetap ditegakkan dengan adil dan tidak memihak, serta mempertimbangkan kepentingan publik dan kebebasan berpendapat.
YLH menegaskan bahwa laporannya bukan bertujuan untuk membungkam siapa pun, melainkan sebagai bentuk penegakan hukum agar masyarakat lebih berhati-hati dalam bertindak di ruang digital. Ia berharap kasus ini menjadi edukasi bagi pengguna media sosial agar tidak sembarangan menyebarkan informasi yang belum jelas keabsahannya.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan hukum yang bersinggungan dengan aktivitas media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan platform digital oleh politisi maupun masyarakat umum memang sering kali menimbulkan polemik karena kurangnya pemahaman terhadap batasan hukum yang berlaku.
Dengan adanya laporan ini, proses hukum akan menjadi ujian sejauh mana negara mampu menyeimbangkan antara perlindungan hukum, kebebasan berekspresi, dan penghormatan terhadap privasi. Masyarakat pun diimbau untuk mengikuti perkembangan kasus ini secara cermat dan kritis, tanpa terjebak dalam provokasi atau informasi yang menyesatkan.
Proses penyelidikan terhadap Dian Sandi Utama masih terus berjalan. Jika terbukti bersalah, ia dapat dikenai sanksi pidana berupa denda dan/atau kurungan penjara sesuai dengan Pasal 32 UU ITE. Sementara itu, publik menanti hasil pemeriksaan yang dilakukan kepolisian sebagai bentuk penegakan hukum yang adil dan transparan.