
TOKOBERITA.COM – Suasana di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara mendadak ramai dan penuh semangat pada Kamis, 17 Juli 2025. Ratusan massa dari Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) dan Komite Perjuangan Rakyat (KPR) menggelar aksi unjuk rasa bertepatan dengan pelaksanaan Sidang Paripurna DPRD Sumut yang juga dihadiri oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara, H. Surya.
Aksi yang dimulai sejak pagi hari ini membawa sejumlah tuntutan yang berkaitan dengan nasib buruh, keadilan ekonomi, serta perlindungan sosial. Para demonstran terlihat membawa berbagai spanduk dan poster berisi tuntutan mereka, seperti “Tolak Upah Murah!”, “Stop PHK Sepihak!”, dan “Berikan Jaminan Sosial bagi Rakyat Miskin!”.
Koordinator aksi dari FPBI, Sutrisno, dalam orasinya menyampaikan bahwa pemerintah daerah dan legislatif tidak boleh abai terhadap penderitaan buruh dan rakyat kecil. Ia menegaskan bahwa kebijakan ekonomi saat ini masih jauh dari keadilan, khususnya dalam hal perlindungan upah dan penghapusan sistem kerja kontrak yang merugikan pekerja.
Aksi ini berlangsung secara damai dan tertib, dengan penjagaan ketat dari aparat kepolisian yang mengamankan jalannya kegiatan. Beberapa ruas jalan di sekitar gedung DPRD sempat ditutup sementara untuk menghindari kemacetan lalu lintas yang lebih parah akibat banyaknya massa yang berkumpul.
Komite Perjuangan Rakyat (KPR), yang turut bergabung dalam aksi ini, lebih menyoroti ketimpangan ekonomi dan lemahnya akses layanan publik bagi masyarakat miskin. Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di depan massa, mereka menuntut pemerintah memperluas program jaminan sosial, termasuk subsidi pendidikan, kesehatan, dan perumahan.
Momen ini dimanfaatkan massa aksi untuk menyampaikan langsung aspirasi mereka kepada para wakil rakyat yang sedang menggelar sidang paripurna di dalam gedung. Para demonstran berharap, kehadiran Wakil Gubernur H. Surya bisa membuka dialog yang serius antara pemerintah dan rakyat, khususnya dalam menyikapi kondisi sosial-ekonomi yang semakin sulit.
Beberapa perwakilan massa aksi sempat diterima oleh staf Sekretariat DPRD Sumut untuk menyerahkan dokumen tuntutan secara resmi. Dalam dokumen tersebut, tertulis 7 poin tuntutan utama yang antara lain mencakup penetapan upah minimum yang layak, penghapusan outsourcing, perlindungan buruh perempuan, serta penolakan terhadap kebijakan privatisasi layanan publik.
Aksi ini juga diisi dengan pertunjukan teatrikal yang menggambarkan penderitaan buruh akibat upah rendah dan ketidakpastian kerja. Melalui seni peran, para peserta aksi mencoba menggugah empati para anggota dewan terhadap realita hidup kelas pekerja dan rakyat miskin.
Meski matahari mulai terik, semangat para pengunjuk rasa tidak surut. Mereka bergantian menyampaikan orasi dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang menambah semangat kolektif. Beberapa peserta aksi datang dari luar kota, menunjukkan betapa luasnya jaringan solidaritas yang terbangun antara organisasi buruh dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Salah satu tuntutan mendesak yang disuarakan adalah penghentian PHK massal yang masih sering terjadi tanpa alasan yang kuat dan tanpa pesangon yang layak. Para buruh menilai bahwa pemerintah daerah belum cukup tegas dalam menindak perusahaan yang melanggar hak-hak pekerja.
Dalam wawancara singkat dengan media, H. Surya menyampaikan bahwa pemerintah provinsi akan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dengan menugaskan instansi terkait untuk memverifikasi dan mempelajari isi tuntutan. Ia juga membuka ruang dialog lebih lanjut yang melibatkan organisasi buruh dan masyarakat sipil.
Respons tersebut disambut baik oleh para demonstran, namun mereka menegaskan bahwa janji harus dibuktikan dengan kebijakan nyata. Mereka berjanji akan terus memantau komitmen pemerintah dan DPRD Sumut dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Rita Nasution, menilai bahwa aksi seperti ini adalah bagian penting dari demokrasi. Menurutnya, keberanian masyarakat sipil untuk menyuarakan ketidakadilan merupakan bentuk partisipasi politik yang sah dan perlu dilindungi.
Aksi unjuk rasa ini berlangsung hingga siang hari sebelum massa perlahan membubarkan diri secara tertib. Meski demikian, pesan-pesan yang disuarakan tetap menggema kuat di antara dinding-dinding gedung dewan yang selama ini dianggap terlalu jauh dari realitas rakyat.
Perjuangan buruh dan rakyat miskin di Sumatera Utara, seperti yang terlihat dalam aksi ini, menjadi pengingat bahwa demokrasi sejati hanya bisa hidup jika suara-suara kecil tetap bisa terdengar, dan kekuasaan benar-benar digunakan untuk melayani rakyat.