
tokoberita.com – Harga cabai merah di Sumatera Utara (Sumut) mengalami penurunan tajam pada akhir pekan ini. Dari sebelumnya yang sempat menyentuh harga Rp65 ribu per kilogram di awal Februari, kini harga cabai turun drastis menjadi Rp38 ribu hingga Rp45 ribu per kilogram. Penurunan harga yang signifikan ini memicu potensi terjadinya deflasi di wilayah Sumut, mengingat cabai merupakan salah satu komoditas yang sangat mempengaruhi inflasi daerah.
Menurut data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut, penurunan harga cabai merah ini dipicu oleh meningkatnya pasokan dari sentra produksi di beberapa daerah, seperti Deli Serdang, Karo, dan Simalungun. Curah hujan yang cukup stabil dalam beberapa pekan terakhir juga berkontribusi pada peningkatan hasil panen petani, sehingga pasokan menjadi melimpah dan harga otomatis turun.
Selain itu, permintaan pasar yang relatif stabil juga menjadi faktor lain dalam penurunan harga ini. Biasanya, lonjakan harga cabai terjadi saat permintaan meningkat tajam, seperti menjelang hari besar keagamaan atau musim paceklik di sektor pertanian. Namun, saat ini konsumsi cabai cenderung dalam kondisi normal sehingga stok yang berlimpah tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan.
Ekonom dari Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Agus Setiawan, menilai bahwa penurunan harga cabai bisa menjadi indikator awal terjadinya deflasi di Sumut pada bulan ini. “Cabai merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar di Sumut. Jika harga komoditas ini turun drastis, maka ada kemungkinan terjadi deflasi, terutama jika diikuti oleh penurunan harga barang kebutuhan pokok lainnya,” ujarnya.
Deflasi sendiri merupakan kebalikan dari inflasi, yaitu kondisi di mana harga barang dan jasa mengalami penurunan secara terus-menerus dalam periode tertentu. Meskipun deflasi dapat meningkatkan daya beli masyarakat, namun jika berlangsung terlalu lama, dapat berdampak negatif bagi perekonomian, terutama bagi para petani yang mengalami penurunan pendapatan.
Para petani cabai di beberapa wilayah Sumut mulai mengeluhkan anjloknya harga jual yang membuat mereka terancam merugi. Salah satu petani cabai di Berastagi, Johan Sihombing, mengaku bahwa harga cabai saat ini hampir mendekati biaya produksi, sehingga keuntungan yang didapat sangat tipis. “Kami khawatir kalau harga terus turun, biaya operasional yang sudah kami keluarkan tidak bisa tertutupi. Banyak petani yang akhirnya memilih menunda panen atau mengalihkan lahan ke tanaman lain,” ungkapnya.
Di sisi lain, para pedagang di pasar tradisional menyambut baik turunnya harga cabai karena daya beli masyarakat meningkat. Sari, seorang pedagang di Pasar Petisah Medan, mengatakan bahwa penjualan cabai dalam beberapa hari terakhir mengalami kenaikan karena harga yang lebih terjangkau bagi konsumen. “Biasanya kalau harga cabai mahal, orang beli sedikit. Sekarang lebih banyak yang beli, jadi dagangan cepat habis,” katanya.
Namun, meski harga cabai turun, beberapa komoditas lain seperti bawang merah, daging ayam, dan beras masih berada dalam tren harga stabil atau bahkan mengalami sedikit kenaikan. Kondisi ini membuat dampak deflasi yang diprediksi belum bisa dipastikan secara signifikan, karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi indeks harga konsumen (IHK).
Pemerintah daerah melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura Sumut mengimbau para petani untuk tetap mengelola produksi dengan baik agar tidak terjadi kelebihan pasokan yang lebih besar lagi. “Kita berharap ada keseimbangan antara produksi dan konsumsi agar harga tetap stabil. Pemerintah juga terus berupaya mencari solusi untuk membantu petani, misalnya dengan program hilirisasi pertanian agar hasil panen bisa diolah dan memiliki nilai tambah,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Hortikultura Sumut, Ir. Rudi Manurung.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) Sumut terus memantau perkembangan harga-harga komoditas utama, termasuk cabai, untuk mengantisipasi dampak terhadap inflasi dan deflasi. BI juga mengingatkan bahwa harga cabai cenderung fluktuatif, sehingga penurunan harga saat ini bisa saja diikuti oleh kenaikan harga dalam beberapa pekan ke depan jika ada gangguan pada produksi atau distribusi.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa harga cabai bisa kembali naik apabila terjadi gangguan cuaca yang berpengaruh terhadap hasil panen. Selain itu, distribusi yang tidak lancar, terutama jika ada kendala transportasi atau kebijakan perdagangan antar daerah, juga bisa memicu kenaikan harga kembali dalam waktu singkat.
Konsumen di Sumut sendiri merespons positif penurunan harga cabai ini, karena dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Seorang ibu rumah tangga di Medan, Yanti, mengaku lebih leluasa dalam membeli cabai karena harga yang lebih murah. “Biasanya kalau harga mahal, kita harus irit. Sekarang bisa beli lebih banyak buat stok di rumah,” ujarnya.
Meski demikian, para pakar ekonomi mengingatkan bahwa stabilitas harga tetap harus dijaga agar baik konsumen maupun petani tidak dirugikan. Pemerintah diharapkan dapat mencari solusi jangka panjang dalam mengelola produksi dan distribusi cabai agar tidak terjadi fluktuasi harga yang ekstrem.
Ke depan, tantangan utama bagi sektor pertanian di Sumut adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara produksi dan harga jual, sehingga petani tetap mendapatkan keuntungan yang layak, sementara konsumen tetap bisa membeli dengan harga yang wajar. Dengan adanya kebijakan yang tepat, diharapkan sektor pertanian cabai di Sumut bisa lebih stabil dan berkelanjutan.