
TOKOBERITA.COM – Fenomena tak biasa terjadi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Puluhan guru Sekolah Dasar (SD) yang baru saja dilantik sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) secara mengejutkan mengajukan izin cerai ke Pengadilan Agama. Fenomena ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, bahkan viral, karena jumlah pengajuan cerai meningkat tajam setelah mereka resmi menjadi ASN kontrak pemerintah.
Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar menunjukkan bahwa sepanjang semester pertama tahun 2025, sudah tercatat 20 permohonan izin cerai dari guru PPPK. Angka ini melampaui total permohonan sepanjang tahun 2024 yang hanya berjumlah 15 kasus. Situasi ini sontak membuat publik bertanya-tanya, apa yang menjadi motif utama di balik keputusan para guru ini untuk berpisah dari pasangan mereka?
Kepala Bidang Pembinaan SD, Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Deni Setiawan, mengonfirmasi bahwa mayoritas pengajuan izin cerai berasal dari guru perempuan yang baru saja menyandang status PPPK. Dalam keterangannya kepada media, Deni menjelaskan bahwa kasus ini telah menjadi perhatian serius dinas pendidikan dan akan ditelaah lebih lanjut.
Salah satu faktor yang paling banyak diungkapkan para guru dalam pengajuan cerai adalah masalah ekonomi rumah tangga, terutama terkait suami yang tidak bekerja atau enggan berkontribusi secara finansial. Banyak dari mereka merasa bahwa saat masih belum memiliki penghasilan tetap, mereka harus bersabar. Namun, setelah memperoleh penghasilan stabil sebagai PPPK, mereka merasa beban rumah tangga menjadi timpang dan tidak adil.
“Beberapa guru menyampaikan secara pribadi bahwa mereka merasa lebih baik hidup mandiri. Karena selama ini mereka yang menopang keluarga, sementara suami tidak bekerja, bahkan tidak menunjukkan niat untuk mencari nafkah,” ujar salah satu pejabat yang enggan disebutkan namanya.
Selain masalah ekonomi, konflik rumah tangga yang sudah berlangsung lama juga disebut menjadi pemicu utama. Beberapa guru mengaku telah mempertimbangkan perceraian sejak lama, tetapi menunda karena status pekerjaan mereka yang belum pasti. Setelah menjadi PPPK dan memiliki penghasilan tetap, mereka merasa memiliki keberanian dan kemandirian untuk keluar dari hubungan yang dianggap tidak sehat.
Fenomena ini menjadi cerminan perubahan dinamika sosial dalam rumah tangga modern. Perempuan, khususnya para guru yang kini memiliki posisi pekerjaan yang mapan, mulai memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan penting dalam hidupnya, termasuk dalam hal perceraian.
Meski demikian, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar menegaskan bahwa mereka tidak dalam posisi mencampuri urusan pribadi para guru. Namun, dinas tetap akan memberikan bimbingan dan pendampingan psikologis jika diperlukan, terutama untuk menjaga stabilitas kinerja guru di lapangan.
Pengadilan Agama Kabupaten Blitar juga membenarkan peningkatan permohonan cerai dari kalangan guru. Mereka menyatakan bahwa mayoritas pengajuan berasal dari pasangan yang telah menikah lebih dari lima tahun, dengan berbagai latar belakang konflik, namun motif dominan adalah ketimpangan peran dalam rumah tangga.
Di sisi lain, masyarakat memberikan beragam tanggapan terhadap fenomena ini. Sebagian mendukung keputusan para guru yang memilih kebahagiaan dan kemandirian, sementara sebagian lain mengkritik langkah tersebut sebagai bentuk kurangnya ketahanan keluarga.
Pakar sosiologi keluarga dari Universitas Negeri Malang, Dr. Rita Kusumaningrum, menyebut fenomena ini sebagai cerminan perubahan peran gender dalam keluarga. “Dulu, perempuan lebih bergantung pada penghasilan suami. Sekarang, ketika perempuan memiliki sumber daya sendiri, mereka merasa tidak perlu bertahan dalam hubungan yang toksik atau tidak sehat,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya kesiapan mental dalam menghadapi perubahan status sosial. “Menjadi PPPK tidak hanya membawa stabilitas ekonomi, tetapi juga ekspektasi baru dalam kehidupan. Ketika konflik rumah tangga tidak terselesaikan, maka kemandirian ekonomi bisa menjadi katalis untuk mengambil keputusan besar seperti perceraian,” tambahnya.
Fenomena ini patut menjadi refleksi bagi masyarakat luas, terutama dalam menyeimbangkan peran dan tanggung jawab dalam keluarga. Perubahan status pekerjaan seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat komunikasi dan kerja sama dalam rumah tangga, bukan menjadi alasan perpecahan.
Dinas Pendidikan dan lembaga terkait diharapkan dapat bekerja sama dengan pihak konseling keluarga dan psikolog untuk memberikan ruang dialog bagi para guru yang mengalami masalah rumah tangga. Dengan begitu, keputusan besar seperti perceraian tidak diambil secara emosional, melainkan melalui proses yang matang dan bijaksana.
Puluhan guru yang mengajukan cerai ini bukan hanya membawa kisah pribadi, tetapi juga menyampaikan pesan bahwa kemandirian ekonomi perempuan kini memainkan peran penting dalam menentukan arah hidupnya. Sebuah dinamika sosial yang perlu dipahami dan disikapi secara arif oleh semua pihak.