
Medan, 15 Januari 2025 – Kisruh terkait sengketa tanah kembali terjadi, kali ini melibatkan seorang pemilik tanah bernama Rosnani yang diduga membatalkan kesepakatan kerja sama (MoU) dengan seorang investor. Tanah yang menjadi objek sengketa terletak di kawasan strategis Kota Medan.
Tak hanya membatalkan MoU, Rosnani juga diduga menjual tanah tersebut kepada pengembang lain, sehingga memicu tuntutan hukum dari investor awal dengan nilai kerugian yang ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar.
Kejadian ini bermula ketika Rosnani dan seorang investor sepakat untuk melakukan kerja sama pembangunan di atas tanah miliknya. MoU yang ditandatangani pada pertengahan tahun 2024 itu mencakup berbagai ketentuan, termasuk komitmen investor untuk memberikan sejumlah uang muka sebagai bentuk keseriusan.
Namun, tanpa pemberitahuan atau negosiasi lanjutan, Rosnani disebut-sebut menjual tanah tersebut kepada pihak lain dengan harga lebih tinggi.
“Saya sudah mengeluarkan dana besar untuk memulai proyek ini. Tiba-tiba dia menjual tanahnya kepada pihak lain tanpa pemberitahuan sama sekali. Ini jelas melanggar perjanjian,” ujar Rahmad, sang investor, saat menggelar konferensi pers di Medan.
Dalam tuntutannya, Rahmad meminta Rosnani mengembalikan uang muka sebesar Rp 500 juta yang sudah disetorkan, beserta kerugian tambahan akibat pembatalan proyek yang mencapai Rp 1,3 miliar. Ia juga menuntut Rosnani meminta maaf secara terbuka karena telah mencederai hubungan bisnis dan nama baiknya sebagai investor.
Kuasa hukum Rahmad, Irwansyah Sitohang, menyatakan bahwa kliennya memiliki bukti kuat berupa dokumen MoU yang sah. “Kami memiliki bukti lengkap, termasuk MoU yang ditandatangani kedua belah pihak, serta transfer uang muka yang sudah diterima oleh pihak Rosnani. Kami optimis tuntutan ini akan dikabulkan oleh pengadilan,” ungkap Irwansyah.
Sementara itu, Rosnani belum memberikan tanggapan resmi terkait tuduhan ini. Namun, salah satu pengacara yang diduga mewakilinya menyebut bahwa pembatalan MoU dilakukan karena investor dianggap tidak memenuhi sejumlah syarat dalam perjanjian.
“Ada ketentuan dalam MoU yang tidak dijalankan oleh pihak investor, sehingga klien kami berhak untuk mengambil keputusan sepihak,” ujar pengacara tersebut yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini menarik perhatian banyak pihak, terutama masyarakat setempat yang sudah lama mengetahui bahwa tanah tersebut berada dalam sengketa. “Kami sudah mendengar banyak cerita soal tanah ini, termasuk bahwa tanah itu beberapa kali berpindah tangan tanpa kejelasan,” ujar Rahmat Hidayat, warga sekitar lokasi tanah.
Pakar hukum properti, Dr. Anita Siregar, menilai kasus ini menunjukkan lemahnya perlindungan hukum dalam transaksi properti yang melibatkan tanah sengketa. “Pembeli atau investor harus lebih berhati-hati dalam memastikan status tanah sebelum melakukan transaksi.
Selain itu, MoU harus diperkuat dengan akta notaris agar memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat,” jelas Dr. Anita.
Saat ini, kasus tersebut telah diajukan ke Pengadilan Negeri Medan. Proses mediasi diharapkan dapat dilakukan untuk menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Namun, jika tidak ada kesepakatan, kasus ini akan berlanjut ke persidangan.
Dengan adanya kasus ini, masyarakat diingatkan untuk lebih waspada dalam melakukan transaksi properti, terutama jika tanah yang dijual memiliki riwayat sengketa. Proses hukum diharapkan mampu memberikan keadilan dan mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.